Selasa, 11 Agustus 2015

Mendaki Gunung




Kegiatan mendaki gunung telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan menurut kisah Mahabarata. Pandawa Lima yang terdiri dari Sadewa, Nakula, Arjuna, Bhima dan Yudhisthira, beserta istri mereka Draupadi, mendaki gunung Mahameru untuk mencapai puncaknya.
Dalam sejarah dunia, pendakian gunung tertinggi pertama kalinya terjadi dengan pencapaian puncak Everest oleh Sir Edmund Hillary, pendaki gunung asal New Zealand dan Tenzing Norgay, seorang sherpa [Pemandu atau porter di pegunungan Himalaya berasal dari bangsa Tibet] pada tahun 1953. Keinginan manusia untuk mendaki gunung sebelumnya sudah muncul pada abad 19, ketika orang-orang Swiss (The Alps) mulai mendaki gunung-gunung untuk mencapai puncaknya, dan Edward Whymper, seorang berkebangsaan Inggris, adalah orang yang pertama berhasil mencapai puncak gunung Matterhorn pada tahun 1865.

Sejak saat itu, banyak ekspedisi-ekspedisi untuk mencapai puncak-puncak gunung di dunia. Klub pendakian gunung Alpine Club dari Inggris telah melakukan lebih dari 600 ekspedisi semenjak Alpine Club didirikan pada tahun 1857. Tercatat dalam Russian Mountaineering Federation, bahwa telah dilakukan 48 ekspedisi untuk mencapai puncak-puncak Himalaya pada tahun 1994-1998.
Di Indonesia sendiri tercatat 145.151 orang yang mendaki gunung Gede Pangrango, Jawa Barat pada tahun 1996-2000. Dijelaskan pula dalam Diktat Sekolah Manajemen Ekspedisi Wanadri 2000 bahwa hampir semua perguruan tinggi atau SLTA mempunyai kelompok-kelompok penggiat alam terbuka.
Secara perorangan maupun berkelompok mereka mengembangkan segi petualangan, segi ilmu pengetahuan, segi olahraga, segi rekreasi dan segi wisata. Perkembangan ini dilakukan secara luas baik hanya mencakup satu segi saja ataupun secara berkaitan (misalnya mendaki gunung untuk melakukan petualangan saja, olahraga saja, atau untuk olahraga, rekreasi dan wisata) yang mengembangkan segi ilmu pengetahuan dan segi petualangan.

Kenapa Mendaki Gunung

Mendaki gunung seperti kegiatan petualangan lainnya merupakan sebuah aktivitas olahraga berat. Kegiatan itu memerlukan kondisi kebugaran pendaki yang prima. Bedanya dengan olahraga yang lain, mendaki gunung dilakukan di tengah alam terbuka yang liar, sebuah lingkungan yang sesungguhnya bukan habitat manusia, apalagi anak kota.

Pendaki yang baik sadar adanya bahaya yang bakal menghadang dalam aktivitasnya yang diistilahkan dengan bahaya obyektif dan bahaya subyektif. Bahaya obyektif adalah bahaya yang datang dari sifat-sifat alam itu sendiri. Misalnya saja gunung memiliki suhu udara yang lebih dingin ditambah angin yang membekukan, adanya hujan tanpa tempat berteduh, kecuraman permukaan yang dapat menyebabkan orang tergelincir sekaligus berisiko jatuhnya batu-batuan, dan malam yang gelap pekat. Sifat bahaya tersebut tidak dapat diubah manusia.

Hanya saja, sering kali pendaki pemula menganggap mendaki gunung sebagai rekreasi biasa. Apalagi untuk gunung-gunung populer dan “mudah” didaki, seperti Gede, Pangrango atau Salak. Akibatnya, mereka lalai dengan persiapan fisik maupun perlengkapan pendakian. Tidak jarang di antara tubuh mereka hanya berlapiskan kaus oblong dengan bekal biskuit atau air ala kadarnya.

Meski tidak dapat diubah, sebenarnya pendaki dapat mengurangi dampak negatifnya. Misalnya dengan membawa baju hangat dan jaket tebal untuk melindungi diri dari dinginnya udara. Membawa tenda untuk melindungi diri dari hujan bila berkemah, membawa lampu senter, dan sebagainya.
Sementara bahaya subyektif datangnya dari diri orang itu sendiri, yaitu seberapa siap dia dapat mendaki gunung. Apakah dia cukup sehat, cukup kuat, pengetahuannya tentang peta kompas memadai (karena tidak ada rambu-rambu lalu lintas di gunung), dan sebagainya.
Sebagai gambaran, Badan SAR Nasional mendata bahwa dari bulan Januari 1998 sampai dengan April 2001 tercatat 47 korban pendakian gunung di Indonesia yang terdiri dari 10 orang meninggal, 8 orang hilang, 29 orang selamat, 2 orang luka berat dan 1 orang luka ringan, dari seluruh pendakian yang tercatat (Badan SAR Nasional, 2001)

Data lain, sejak tahun 1969 sampai 2001, gunung Gede dan Pangrango di Jawa Barat telah memakan korban jiwa sebanyak 34 orang. Selanjutnya, dari 4000 orang yang berusaha mendaki puncak Everest sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, hanya 400 orang yang berhasil mencapai puncak dan sekitar 100 orang meninggal. Rata-rata kecelakaan yang terjadi pada pendakian dibawah 8000 m telah tercatat sebanyak 25% pada setiap periode pendakian.

Kedua bahaya itu dapat jauh dikurangi dengan persiapan. Persiapan umum yang harus dimiliki seorang pendaki sebelum mulai naik gunung antara lain:
Membawa alat navigasi berupa peta lokasi pendakian, peta, altimeter [Alat pengukur ketinggian suatu tempat dari permukaan laut], atau kompas. Untuk itu, seorang pendaki harus paham bagaimana membaca peta dan melakukan orientasi. Jangan sekali-sekali mendaki bila dalam rombongan tidak ada yang berpengalaman mendaki dan berpengetahuan mendalam tentang navigasi.
Pastikan kondisi tubuh sehat dan kuat. Berolahragalah seperti lari atau berenang secara rutin sebelum mendaki.

Bawalah peralatan pendakian yang sesuai. Misalnya jaket anti air atau ponco, pisahkan pakaian untuk berkemah yang selalu harus kering dengan baju perjalanan, sepatu karet atau boot (jangan bersendal), senter dan baterai secukupnya, tenda, kantung tidur, matras.
Hitunglah lama perjalanan untuk menyesuaikan kebutuhan logistik. Berapa banyak harus membawa beras, bahan bakar, lauk pauk, dan piring serta gelas. Bawalah wadah air yang harus selalu terisi sepanjang perjalanan.

Bawalah peralatan medis, seperti obat merah, perban, dan obat-obat khusus bagi penderita penyakit tertentu.
Jangan malu untuk belajar dan berdiskusi dengan kelompok pencinta alam yang kini telah tersebar di sekolah menengah atau universitas-universitas.
Ukurlah kemampuan diri. Bila tidak sanggup meneruskan perjalanan, jangan ragu untuk kembali pulang.

Memang, mendaki gunung memiliki unsur petualangan. Petualangan adalah sebagai satu bentuk pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan dan selalu berakhir dengan perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut. Perasaan yang muncul saat bertualang adalah rasa takut menghadapi bahaya secara fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada petualangan karena tidak ada pula tantangan.

Seperti yang dinyatakan dalam data harian Kompas, tercatat dari 50 orang yang pernah tertimpa musibah dalam pendakian gunung Semeru, Jawa Timur, 24 orang dinyatakan tewas, dua orang hilang, 10 orang luka-luka, dan empat orang selamat.
Banyaknya kecelakaan dan hambatan yang kerap dialami oleh orang yang mendaki gunung, tidak membuat para pendaki berhenti melakukan pendakian. Data terakhir menyatakan bahwa pada bulan Juli 2002 masih dilakukan pendakian oleh sepuluh pendaki gunung asal Bandung menuju gunung Slamet. Pendakian tersebut menyebabkan kesepuluh pendaki gunung tersebut hilang sehingga diperbantukan sebanyak 24 orang anggota Tim SAR Polres Purbalingga dan gabungan pecinta alam dari Purwokerto diterjunkan ke lokasi untuk mencari para pendaki gunung tersebut.

Risiko mendaki gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk tetap melanjutan pendakian, karena Zuckerma menyatakan bahwa para pendaki gunung memiliki kecenderungan sensation seeking [pemburuan sensasi] tinggi. Para sensation seeker menganggap dan menerima risiko sebagai nilai atau harga dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan tersebut membentuk self-esteem [kebanggaan /kepercayaan diri].

Pengalaman-pengalaman ini selanjutnya menimbulkan perasaan individu tentang dirinya, baik perasaan positif maupun perasaan negatif. Perjalanan pendakian yang dilakukan oleh para pendaki menghasilkan pengalaman, yaitu pengalaman keberhasilan dan sukses mendaki gunung, atau gagal mendaki gunung. Kesuksesan yang merupakan faktor penunjang tinggi rendahnya self-esteem, merupakan bagian dari pengalaman para pendaki dalam mendaki gunung.

Fenomena yang terjadi adalah apakah mendaki gunung bagi para pendaki merupakan sensation seeking untuk meningkatkan self-esteem mereka? Selanjutnya, sensation seeking bagi para pendaki gunung kemungkinan memiliki hubungan dengan self-esteem pendaki tersebut. Karena pengalaman yang dialami para pendaki dalam pendakian dapat berupa keberhasilan maupun kegagalan.

Persiapan mendaki gunung

Persiapan umum untuk mendaki gunung antara lain kesiapan mental, fisik, etika, pengetahuan dan ketrampilan.

Kesiapan mental.

Mental amat berpengaruh, karena jika mentalnya sedang fit, maka fisik pun akan fit, tetapi bisa saja terjadi sebaliknya.

Kesiapan fisik.

Beberapa latihan fisik yang perlu kita lakukan, misalnya : Stretching /perenggangan [sebelum dan sesudah melakukan aktifitas olahraga, lakukanlah perenggangan, agar tubuh kita dapat terlatih kelenturannya]. Jogging (lari pelan-pelan) Lama waktu dan jarak sesuai dengan kemampuan kita, tetapi waktu, jarak dan kecepatan selalu kita tambah dari waktu sebelumnya. Latihan lainnya bisa saja sit-up, push-up dan pull-up Lakukan sesuai kemampuan kita dan tambahlah porsinya melebihi porsi sebelumnya.

Kesiapan administrasi.

Mempersiapkan seluruh prosedur yang dibutuhkan untuk perijinan memasuki kawasan yang akan dituju.

Kesiapan pengetahuan dan ketrampilan.

Pengetahuan untuk dapat hidup di alam bebas. Kemampuan minimal yang perlu bagi pendaki adalah pengetahuan tentang navigasi darat, survival serta EMC [emergency medical care] praktis.
Perencanan pendakian.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari informasi. Untuk mendapatkan data-data kita dapat memperoleh dari literatur- literatur yang berupa buku-buku atau artikel-artikel yang kita butuhkan atau dari orang-orang yang pernah melakukan pendakian pada objek yang akan kita tuju. Tidak salah juga bila meminta informasi dari penduduk setempat atau siapa saja yang mengerti tentang gambaran medan lokasi yang akan kita daki.

Selanjutnya buatlah ROP (Rencana Operasi Perjalanan). Buatlah perencanaan secara detail dan rinci, yang berisi tentang daerah mana yang dituju, berapa lama kegiatan berlangsung, perlengkapan apa saja yang dibutuhkan, makanan yang perlu dibawa, perkiraan biaya perjalanan, bagaimana mencapai daerah tersebut, serta prosedur pengurusan ijin mendaki di daerah tersebut. Lalu buatlah ROP secara teliti dan sedetail mungkin, mulai dari rincian waktu sebelum kegiatan sampai dengan setelah kegiatan. Aturlah pembagian job dengan anggota pendaki yang lain (satu kelompok), tentukan kapan waktu makan, kapan harus istirahat, dan sebagainya.

Intinya dalam perencanaan pendakian, hendaknya memperhatikan :

■ Mengenali kemampuan diri dalam tim dalam menghadapi medan.
■ Mempelajari medan yang akan ditempuh.
■ Teliti rencana pendakian dan rute yang akan ditempuh secermat mungkin.
■ Pikirkan waktu yang digunakan dalam pendakian.
■ Periksa segala perlengkapan yang akan dibawa.

Perlengkapan dasar perjalanan.

■ Perlengkapan jalan : sepatu, kaos kaki, celana, ikat pinggang, baju, topi, jas hujan, dll.
■ Perlengkapan tidur : sleeping bag, tenda, matras dll.
■ Perlengkapan masak dan makan: kompor, sendok, makanan, korek dll.
■ Perlengkapan pribadi : jarum , benang, obat pribadi, sikat, toilet paper / tissu, dll.
■ Ransel / carrier.

Perlengkapan pembantu.

■ Kompas, senter, pisau pinggang, golok tebas, Obat-obatan.
■ Peta, busur derajat, douglass protector, pengaris, pensil dll.
■ Alat komunikasi (Handy talky), survival kit, GPS [kalo ada]
■ Jam tangan.

Packing atau menyusun perlengkapan kedalam ransel.

Kelompokkan barang barang sesuai dengan jenis jenisnya.
Masukkan dalam kantong plastik.
Letakkan barang barang yang ringan dan jarang penggunananya (mis : Perlengkapan tidur) pada yang paling dalam.
Barang barang yang sering digunakan dan vital letakkan sedekat mungkin dengan tubuh dan mudah diambil.
Tempatkan barang barang yang lebih berat setinggi dan sedekat mungkin dengan badan / punggung.
Buat Checklist barang barang tersebut.

Mengenal Jenis Gunung dan Grade Pendakian

Pada garis besar gunung terbagi menjadi 2, yaitu gunung berapi/aktif dan tidak aktif. Berdasar bentuknya dibagi menjadi :

Gunung berapi perisai (Gunung berapi lava) == seperti perisai
Gunung berapi strato
Gunung berapi maar == Gunung berapi yang meletus sekali dan segala aktivitas vulkanisme terhenti, yang tinggal hanya kawahnya saja.
Macam dan tingkat pendakian gunung macam pendakian, yaitu pendakian gunung bersalju (es) dan gunung batu. Keduanya mambutuhkan persiapan dan perlengkapan yang matang. Menurut Club “Mountaineers”, Seatle Washington, dasar pembagian tingkat pendakian ada dua cara.

1. Berdasar penggunaan alat teknis yang dipakai ( class)

class 1 ; lintas alam tanpa bantuan tangan
class 2 ; dibutuhkan bantuan tangan
class 3 ; pendakian yang mudah memerlukan kaki dan tangan dalam mendaki, tali mungkin dibutuhkan oleh pemula
class 4 ; pendakian memerlukan tali pengaman
class 5 ; dibutuhkan tali dan pengaman peralatan lain seperti : piton, runner, chocks dll
class 6 ; mandaki dengan tali dengan peralatan bantuan sepenuhnya berpijak diatas paku tebing, memanjat rantai sling atau mengunakan stirupss.

Pendakian claass 4 masuk dalam katagori scrembling [Mendaki dengan cara mempergunakan badan sebagai keseimbangan serta tangan untuk berpegangan dengan medan yang miring sampai 45 derajat] dan class 5 – 6 sudah dapat dikatagorikan sebagai climbing [panjat]. Dimana class 5 merupakan free-climbing [Pemanjatan dengan tanpa menggunakan alat tehnis untuk menambah ketinggian, alat hanya sebagai pengaman saja ] dan class 6 adalah artificial climbing [Pemanjatan dengan menggunakan alat tehnis sebagai pembantu menambah ketinggian, misalnya dipijak atau disentak dan dipegang ]. Apa bila dilakukan di gunung batu / cadas disebut rock climbing dan bila dilakukan di gunung es disebut dengan snow and ice climbing.

2. Berdasar lama waktu akibat sukarnya pendakian dalam medan pendakian (grade)

grade I, bagian yang sukar dapat ditempuh dalam beberapa jam
grade II, bagian yang sukar ditempuh dalam setengah hari
grade III, bagian yang sukar ditempuh dalam sehari penuh
grade IV, bagian yang sukar ditempuh dalam sehari penuh dan memerlukan bantuan lereng-lereng sempit untuk bisa naik
grade V, bagian yang sukar ditempuh dalam waktu 1,5-2,5 hari
grade VI, bagian yang sukar ditempuh dalam waktu 2 hari atau lebih dan dengan banyak sekali kesulitan.

3. Berdasarkan tingkat kemanan pemanjat dari kemampuan alat yang digunakan.

A1 ; aman sekali, peralatan yang dipasang dan digunakan dapat diandalkan untuk menjaga keselamatan pendaki
A2 ; aman, jikapun terjadi maslah, alat masih dapat diandalkan untuk mencegah akibat yang lebih fatal [misalnya jatuh tidak sampai kedasar]
A3 ; penggunan alat pengaman cukup aman tetapi tidak dapat diandalkan untuk menjaga resiko jatuh, kecuali dengan pemasangan yang sangat teliti dan fall-faktor yang tidak terlalu berbeban tinggi. Bila fall faktor tinggi, maka alat-alat akan copot dan pendaki bisa menerima akibat fatal
A4 ; pengaman yang digunakan tidak dapat diharapkan untuk dapat menahan beban jatuh, cenderung hanya sebagai pengaman psykologis untuk menguatkan mental pendaki.

4. Berdasarkan tingkat kesulitan [difficult] medan pendakian.

Tingkatan pedakian dengan dasar perhitungan ini bisa disebut juga dengan Yossemite Decimal System [YDS]. Peng-katagorian berasal dari USA dan saat ini banyak di gunakan untuk menentukan grade kesulitan panjat tebing. Oleh karena itu YDS dimulai dengan grade 5 dan seterusnya. Pengkatagorian demikian biasanya digunakan untuk jenis pendakian free-climbing atau free-soloing [Memanjat sendiri tanpa alat bantu dan pengaman apapun, biasanya pada jalur pendek]
Anehnya YDS sendiri menyalahi kaidah matematis penghitungan decimal, dimana misalnya suatu jalur mempunyai ketinggian 5,9 [lima point sembilan] lalu grade selanjutnya menjadi 5.10 [lima point sepuluh]. Peng-angka-an ini menjadi “aneh” akibat grade 5.9 lebih rendah dibanding dengan 5.10, padahal dalam matematika sebaliknya.

YDS sendiri diawali dengan grade 5.8 atau 5.9, selanjutnya 5.10, 5.11, 5.12, 5.13 dan 5.14. Sampai saat ini tidak ada grade melebihi 5.14.
Perkembangan keanehan peng-angka-an decimal ini menurut beberapa diskusi pegiatan pendakian dan panjat tebing akibat keselahan memprediksikan kemampuan pendakian pada saat system YDS dipublikasikan. Dimana pada saat itu diperkirakan kemampuan pendakian / panjat hanya sampai grade 5.9. Padahal dalam kemudian berkembangan kemampuan pendakian / pemanjatan yang lebih mutakhir dan luar bisa.

Bahkan saking sulitnya menentukan dengan hanya angka-angka decimal yang terbatas, seiring dengan banyaknya jalur pendakian/pemanjatan yang dibuat oleh kalangan pemanjat, maka grade decimalpun ditambahkan dibelangkannya dengan alfhabet.
Contoh; 5.12a, 5.13 d atau 5.14 c
Memang sampai saat sekarang barangkali hanya ada beberapa jalur yang dibuat manusia dengan grade 5.14, itupun terbatas pada jalur-jalur pendek.

Secara umum grading dengan YDS dapat dijelaskan sebagai berikut :

5.8 ; jalur yang ditempuh mudah, grip [pegangan] sangat bisa digunakan oleh bagian tubuh yang ada untuk menambah ketinggian
5.9 ; jalur yang ditempuh dengan metode 3 bertahan 1 mencari
5.10 ; jalur yang ditempuh dengan metode 3 bertahan 1 mencari, hanya saja perlu keseimbangan [balance] yang baik
5.11 ; dapat bertahan pada 2 atau 3 grip dengan satu diantaranya sangat minim dan perlu keseimbangan. Jalur hang hampir bisa dipastikan memiliki grade demikian.
5.12 ; terdapat 2 dari 2 kaki dan 2 tangan yang dapat digunakan untuk menambah ketinggian. Dengan kondisi grip yang kecil di satu bagiannya atau paling tidak sama
5.13 ; hanya 1 dari diantara 2 kaki dan 2 tangan yang dapat digunakan untuk menambah ketinggian, itupun dengan grip yang sangat minim.
5.14 ; “mulus seperti kaca”, tidak mungkin terpikirkan untuk dapat dibuat jalur pendakian/pemanjatan.

Makanan (logistik).

Makanan yang dibawa seharusnya dapat memenuhi kebutuhan energi pendaki, selama pendakian seserorang membutuhkan sitar 5.000 kalori dan 100 gram protein, kalori dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi nasi. Namun ada baiknya hanya memakan nasi satu kali sehari di kala malam (saat berkemah) alasayanya beras realtif berat dan memerluakan waktu yang lama untu memasak serta menghabiskan banyak bahan bakar. Fungsi beras dapat diganti dengan roti, biskuit, coklat, dan hevermut.

Hal yang perlu diperhatikan hindari mengkonsumsi makanan yang harus dimasak lebih dahulu selama mendaki, karena hal ini hanya akan merepotkan dan menghabiskan waktu perjalanan. Pilihlah makanan praktis seperti coklat, roti, agar-agar, buah-buahan, dapat juga dibuat mixfood yang terdiri atas kacang, coklat, biskuit dan kismis.

Umumnya makanan yang paling praktis dibawa adalah makanan instan yang memiliki kemasan, buanglah kemasan karton sebelum dimasukan dalam ransel dengan demikian berat ransel dapat berkurang dan makanan yang dibawapun tidak banyak memakan tempat didalam ransel.

Peralatan lain

Selain peralatan dan sejumlah perlengkapan, jangan lupa membawa perlengkapan kecil yang terkadang dirasa sepele, namun amat penting. Perlengkapan itu berupa obat-obatan seperti pelester, obat merah, tisu basah dan kering, senter, benang, jarum jahit, jam dan alat tulis. Peralatan itu terkandang dibutuhkan dalam keadaan darurat atau menjaga tubuh tetap bersih.

Hal terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah jangan lupa membawa tas / kantong plastik, tas plastik tersebut dibutuhkan untuk menaruh barang-barang yang kotor dan basah sebelum dicuci dan tas plastik juga berfungsi untuk membawa kembali sampah-sampah pendakian, sampah-sampah sisa makanan atau berkemah, janganlah dibuang begitu saja di alam terbuka. Selain megotori, membuang sampah dapat menyulitkan usaha pencarian dan pertolongan bagi pendaki yang tersesat atau mengalami kecelakaan, kerap kali usaha pencarian oarang tersesat terbantu dengan petunjuk dari barang-barang yang tercecer.

‪#‎Bawa_turun_sampahmu_dari_gunung‬
‪#‎Gunung_tidak_butuh_pendaki‬
Keep the spirit and lets enjoy our life

Tanpa Persiapan Naik Gunung Tidak Akan Bermakna



BANYAK remaja dan Pemuda belakangan ini sering mengisi waktu liburan dengan naik gunung. Namun, karena ketidak-tahuan, kegiatan fisik berat itu sering tidak disiapkan dengan baik.Padahal, mendaki gunung ditentukan oleh faktor ekstern dan intern, dan kebugaran fisik mutlak diperlukan. sehingga banyak sekali jatuh korban karena minimnya pengetahuan tentang kegiatan di alam bebas.
Pendaki gunung legendaris asal Inggris, Sir George Leigh Mallory, kerap menjawab pendek pertanyaan mengapa ia begitu tergila-gila naik gunung. *Because it is there, *ujarnya. Jawaban itu menggambarkan betapa luas pengalamannya mendaki gunung dan bertualang. Selain jawaban itu, masih banyak alasan mengapa seseorang mendaki gunung atau menggeluti kegiatan petualangan lainnya.

Mapala Universitas Indonesia dan Wanadri sebagai kelompok pencinta alam tertua di Indonesia-contohnya. Mereka punya alasan lebih panjang dari Mallory. Dalam halaman awal buku pegangan petualangan yang dimiliki seluruh anggotanya tertulis, Nasionalisme tidak dapat tumbuh dari slogan atau indoktrinasi. Cinta tanah air hanya tumbuh dari melihat langsung alam dan masyarakatnya. Untuk itulah kami naik gunung (Almarhum Soe Hok Gie)

Yang jelas berkegatan di alam bebas ini merupakan salah satu kegiatan yang ekstrim dan membutuhkan persiapan yang sangat baik, baik itu persiapan mental maupun fisik,
Kegiatan ini bukan untuk kegiatan gagah gagahan maka sebaiknya TIDAK ada istilah MODAL NEKAT dalam mendaki gunung.

Bagaimanapun, gunung dengan rimba liarnya, tebing terjal, udara dingin,kencangnya angin yang membuat tulang ngilu, malam yang gelap dan kabut yang pekat bukanlah habitat manusia modern. Bahaya yang dikandung alam itu akan menjadi semakin besar bila pendaki gunung tidak membekali diri dengan peralatan, kekuatan fisik, pengetahuan tentang alam, dan navigasi yang baik.
Tanpa persiapan yang baik, naik gunung tidak bermakna apa-apa.

Secara umum, ada tiga faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya pendakian gunung.
Pertama, faktor ekstern atau faktor yang berasal dari luar diri pendaki. Cuaca, kondisi alam, gas beracun yang dikandung gunung dan sebagainya yang merupakan sifat dan bagian alam. Karena itu, bahaya yang mungkin timbul seperti angin badai, pohon tumbang, letusan gunung atau meruapnya gas beracun dikategorikan sebagai bahaya objektif (objective danger). Seringkali faktor itu berubah dengan cepat di luar dugaan manusia.

Tidak ada seorang pendaki pun yang dapat mengatur bahaya objektif itu. Namun dia dapat menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan itu. Diri pendaki,
Kedua, Faktor Intern atau faktor yang berasal dari dalam diri Pendaki, segala persiapan baik fisik, mental dan kemampuannya itulah yang menjadi faktor intern yang berpengaruh pada sukses atau gagalnya mendaki gunung.

Ketiga, Faktor Perlengkapan dan alat safety penunjang pendakian, Seorang pendaki gunung juga harus dilengkapi dengan peralayan yang safety dan memenuhi standar keselamatan untuk berkegiatan di alam bebas, hal ini adalah MUTLAK yang harus dimilik oleh seorang pendaki atau penggiat dialam bebas.

Bila pendaki tidak mempersiapkan pendakian, maka dia hanya memperbesar bahaya subyektif. Misalnya, bahaya kedinginan karena pendaki tidak membawa jaket tebal atau tenda untuk melawan dinginnya udara dan kencangnya angin.
Tidak bisa ditawar, mendaki gunung adalah kegiatan fisik berat. Karena itu, kebugaran fisik adalah hal mutlak. Untuk berjalan dan menarik badan dari rintangan dahan atau batu, otot tungkai dan tangan harus kuat. Untuk menahan beban ransel, otot bahu harus kuat. Daya tahan (endurance) amat diperlukan karena dibutuhkan perjalanan berjam-jam hingga hitungan hari untuk bisa tiba di puncak.
Bila tidak biasa berolahraga, calon pendaki sebaiknya melakukan jogging dua atau tiga kali seminggu, dilakukan dua hingga tiga minggu sebelum pendakian. Mulailah jogging tanpa memaksa diri, misalnya cukup 30 menit dengan lari-lari santai.

Tingkatkan waktu dan kecepatan jogging secara bertahap pada kesempatan berikutnya. Bila kegiatan itu terasa membosankan, dapat diselingi dengan berenang. Dua olahraga itu sangat bermanfaat meningkatkan endurance dan kapasitas maksimum paru-paru menyedot oksigen (Volume O2 maximum/VO2 max).
Latihan push up, sit up, pull up sebaiknya juga dilakukan untuk memperkuat otot-otot.
Saking semangatnya, pendaki muda kerap kali ingin segera mencapai puncak,apalagi bila kegiatan itu dilakukan berkelompok. Persaingan untuk berjalan paling cepat, paling depan, dan menjadi orang pertama memijak puncak,sebaiknya ditinggalkan.
Mendaki gunung yang baik justru melangkah perlahan dalam langkah-langkah kecil dan dalam irama tetap. Dengan berjalan seperti itu , pendaki dapat mengatur napas, dan menggunakan tenaga seefisien mungkin.

Bagaimanapun mendaki merupakan kegiatan yang sangat melelahkan. Selain itu, keindahan alam dan kebersamaan dalam rombongan, sering menggoda pendaki untuk banyak berhenti dan beristirahat di tengah jalan. Bila dituruti terus, bukan tidak mungkin pendakian malah gagal mencapai puncak. Karena itu, cobalah membuat target pendakian. Misalnya, harus berjalan nonstop selama satu jam, lalu istirahat 10 menit, kembali mendaki selama satu jam dan seterusnya. Lakukan hal ini hingga mencapai puncak atau hari telah sore untuk berkemah. Pada medan perjalanan yang landai, target waktu seperti itu dapat diganti dengan target tempat. Caranya, tentukanlah titik-titik target di peta sebagai titik beristirahat.

Buatlah jadwal rencana kegiatan sehingga waktu yang tersedia digunakan seefektif mungkin dalam bergiat di alam. Jadwal itu memungkinkan pendaki menghitung berapa banyak makanan, pakaian, peralatan harus dibawa, dan dana yang harus disiapkan. Jadwal itu antara lain mencakup keberangkatan, jadwal dan rute pendakian, kapan tiba di puncak, jadwal dan rute pulang, dan seterusnya. Jadwal pendakian perhari dapat lebih dirinci dengan berapa jam jatah pendakian, pukul berapa dimulai dan kapan berhenti serta seterusnya. (Lihat Postingan Manajemen Perjalanan)
Untuk menghindari beban bawaan terlalu berat, hindari membawa barang-barang yang tidak perlu. Misalnya, cukup membawa baju dan celana tiga atau empat stel meski pendakian memerlukan waktu cukup lama. Satu stel pakaian dikenakan saat berangkat dari rumah hingga kaki gunung dan saat pulang. Satu stel sebagai baju lapangan saat mendaki. Satu stel yang lain sebagai baju kering yang digunakan saat berkemah.

Bila barang perlengkapan telah terkumpul, masukkan semua ke dalam ransel. Jangan biarkan ada sejumlah barang seperti cangkir atau sandal diikat di luar ransel. Selain tidak sedap dipandang, risiko hilang selama pendakian, amat besar. Meski demikian, ada beberapa barang yang ditolerir bila ditaruh di luar ransel dan diikat dengan tali webbing ransel. Misalnya, matras karet dan tiang tenda. Namun, yakinkan, semua telah diikat dengan kencang. Menaruh barang di dalam ransel amat berbeda dengan cara memasukkan buku-buku pelajaran dalam daypack (ransel kecil yang biasa digunakan ke sekolah).

Buku pelajaran, baju praktikum, kalkulator dapat kita cemplungkan begitu saja ke dalam daypack. Sebaliknya, barang-barang pendakian harus dimasukkan dalam ransel dengan aturan tertentu sehingga mengurangi rasa sakit saat memanggul dan menghindari ruang kosong dalam ransel. (Lihat Postingan Packing adalah seni)

‪#‎Bawa_Turun_Sampahmu_Dari_Gunung‬
‪#‎Gunung_Tidak_Butuh_Pendaki‬
Keep The Spirit and Lets Enjoy Our Life.