Jawa adalah sebuah Pulau di Indonesia dan merupakan terluas ke-13 di dunia. Dengan penduduk sekitar 136 juta, pulau ini berpenduduk terbanyak
di dunia dan merupakan salah satu tempat terpadat di dunia. Meskipun
hanya menempati urutan terluas ke-5, Pulau Jawa dihuni oleh 60% penduduk
Indonesia. Ibu Kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat.
Jawa adalah pulau yang relatif muda dan sebagian besar terbentuk dari
aktivitas vulkanik. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang
terbentang dari timur hingga barat pulau ini, dengan dataran endapan
aluvial sungai di bagian utara.
Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Dahulu, Jawa adalah pusat beberapa kerajaan Hindu - Budha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Sebagian besar penduduknya bertutur dalam tiga bahasa utama. Bahasa Jawa
merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian
besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Dua bahasa penting lainnya adalah Bahasa Sunda dan Bahasa Melayu (bahasa Betawi). Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.
Pulau ini secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah khusus, yaitu DJI Jakarta dan DI Yogyakarta..
Etimologi
Asal mula nama "Jawa" dapat dilacak dari kronik berbahasa Sansekerta yang menyebut adanya pulau bernama
yavadvip(a) (
dvipa berarti "pulau", dan
yava berarti "jelai" atau juga "biji-bijian")
Apakah biji-bijian ini merupakan jewawut (
Setaria italica) atau padi, keduanya telah banyak ditemukan di pulau ini pada masa sebelum masuknya pengaruh India.
Boleh jadi, pulau ini memiliki banyak nama sebelumnya, termasuk kemungkinan berasal dari kata
jaú yang berarti "jauh".
Yavadvipa disebut dalam epik asal India, Ramayana.
Sugriwa, panglima
wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yavadvip ("Pulau Jawa") untuk mencari Dewi Shinta
Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut nama Sanskerta
yāvaka dvīpa (
dvīpa = pulau).
Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti "rumah"
Nenek moyang suku Jawa tidak berbeda dari suku-suku bangsa Indonesia
lainnya yang menempati Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatera dan Jawa
yang disebut Daratan Sunda. Dari penggalian fosil-fosil di Pulau Jawa
sekitar lembah Bengawan Solo, Jawa Tengah telah ditemukan fosil
Pithecanthropus Erectus
yang diperkirakan sebagai manusia Indonesia tertua yang hidup sekitar
satu juta tahun yang lalu dan fosil yang lebih muda usianya yang
disebut
Homo Soloensis.
[1]
Sedangkan tulisan kuno yang memberikan kejelasan tentang asal usul
nenek moyang orang Jawa hanya dimulai sejak kedatangan aji saka. Namun
terdapat keterangan mengenai keadaan geologi pulau Jawa dalam sebuah
tulisan kuno hindu yang menyatakan bahwa Nusa Kendang, nama pulau Jawa
pada masa itu merupakan bagian dari India. Dan tanah yang sekarang
dinamakan Kepulauan Nusantara, merupakan daratan yang menyatu dengan
daratan Asia dan Australia yang kemudian terputus dan tenggelan oleh air
bah.
[2]
Dalam Babad Kuno, ditemukan sejarah yang samar. Diceritakan bahwa
Arjuna seorang raja dari Astina, yang merupakan sebuah kerajaan yang
terletak di Kling yang membawa penduduk pertama ke Pulau Jawa. Pada
masa itu pulau ini belum berpenghuni. Mereka kemudian mendirikan sebuah
koloni yang letaknya tidak disebutkan.
[3]
Sejarah yang lebih jelas dapat ditemukan dari sebuah surat kuno yaitu
Serat Asal Keraton Malang.
Dalam surat tersebut diceritakan bahwa Raja Rum yang merupakan sultan
dari negara Turki, tetapi dalam surat lainnya disebut sebagai raja dari
Dekhan. Pada 450 tahun sebelum Masehi Raja tersebut mengirim penduduk
pertama, namun penduduk tersebut sangat menderita karena gangguan
binatang buas. Akibatnya, banyak dari penduduk baru tersebut yang
kembali pulang ke negaranya.
[4]
Dan pada 350 SM, Raja mengirim perpindahan penduduk yang kedua kali.
Perpindahan ini dipimpin oleh Aji Keler yang membawa 20.000 laki-laki
dan 20.000 perempuan yang berasal dari pantai Koromandel. Aji Keler
menemukan Nusa Kendang dengan dataran tinggi yang ditutupi hutan lebat
dan dihuni berbagai binatang buas sedangkan tanah datarnya ditumbuhi
oleh tanaman yang dinamakan jawi. Karena jenis tanaman ini tumbuh
dimana- mana maka ia menamakan tanah dimana ia mendarat dengan nama
“Jawi”, yang kemudian berlaku untuk nama keseluruhan Pulau Jawa.
[5]
Raja kemudian memerintahkan sang patih untuk mengirim perpindahan
penduduk gelombang ketiga yang juga terdiri dari 20.000 laki dan 20.000
perempuan. Namun pada perpindahan gelombang ketiga ini telah dibekali
peralatan membajak serta bekal hidup selama enam bulan untuk mencegah
agar orang-orang tersebut tidak melarikan diri dan diangkatlah raja bagi
mereka dengan nama Raja Kanna. Pada beberapa tempat di pantai di daerah
Surabaya sekarang dan juga di Pulau Madura, di bangun desa-desa dengan
nama Ngawu, Hawu Langit, Dewarawati, Mandaraka, Ngamarta dan Madura. Di
desa-desa ini juga di angkat kepala-kepala atau pimpinannya. Tindakan
tersebut ternyata membuat perpindahan penduduk gelombang ketiga
berhasil. Akhirnya, mereka menyebar ke pedalaman yang terbuka dari pulau
Jawa. Orang-orang dari gelombang ketiga ini mempunyai kepercayaan
Animisme
Pulau ini merupakan bagian dari gugusan
kepulauan Sunda Besar dan
paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua
Asia. Sisa-sisa fosil
Homo erectus, yang populer dijuluki "Si
Manusia Jawa", ditemukan di sepanjang daerah tepian
Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau.
Situs
Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur
megalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya
menhir,
dolmen, meja batu, dan
piramida berundak yang lazim disebut
Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang,
Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan
sarkofagus.
Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan
candi
pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal
menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM
hingga abad ke-1 atau ke-5 M
Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan
protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan
Tarumanagara.
Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan
berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong
terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari
aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil.
Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya
yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah
interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari
pengaruh luar.
Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan
kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan
utama masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek.
Hanya
Sungai Brantas
dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh,
sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari
kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan
jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di
pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ke-17. Para penguasa lokal
memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat
pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan
sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah
dikatakan bahwa perhubungan antarpenduduk pulau Jawa pada masa itu
adalah sulit.
Masa kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Taruma dan
Kerajaan Sunda muncul di Jawa Barat, masing-masing pada abad ke-4 dan ke-7, sedangkan
Kerajaan Medang adalah kerajaan besar pertama yang berdiri di Jawa Tengah pada awal abad ke-8. Kerajaan Medang menganut agama
Hindu dan memuja
Dewa Siwa, dan kerajaan ini membangun beberapa
candi Hindu yang terawal di Jawa yang terletak di
Dataran Tinggi Dieng. Di
Dataran Kedu pada abad ke-8 berkembang
Wangsa Sailendra, yang merupakan pelindung agama
Buddha Mahayana. Kerajaan mereka membangun berbagai candi pada abad ke-9, antara lain
Borobudur dan
Prambanan di Jawa Tengah.
Sekitar abad ke-10, pusat kekuasaan bergeser dari tengah ke timur pulau Jawa. Di wilayah timur berdirilah kerajaan-kerajaan
Kadiri,
Singhasari, dan
Majapahit
yang terutama mengandalkan pada pertanian padi, namun juga
mengembangkan perdagangan antar kepulauan Indonesia beserta Cina dan
India.
Raden Wijaya mendirikan
Majapahit, dan kekuasaannya mencapai puncaknya di masa pemerintahan
Hayam Wuruk
(m. 1350-1389). Kerajaan mengklaim kedaulatan atas seluruh kepulauan
Indonesia, meskipun kontrol langsung cenderung terbatas pada Jawa, Bali,
dan Madura saja.
Gajah Mada adalah
mahapatih
di masa Hayam Wuruk, yang memimpin banyak penaklukan teritorial bagi
kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa sebelumnya mendasarkan kekuasaan
mereka pada pertanian, namun Majapahit berhasil menguasai pelabuhan dan
jalur pelayaran sehingga menjadi kerajaan komersial pertama di Jawa.
Majapahit mengalami kemunduran seiring dengan wafatnya Hayam Wuruk dan
mulai
masuknya agama Islam ke Indonesia.
Masa kerajaan Islam
Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui Hindu dan Buddha sebagai
agama dominan di Jawa, melalui dakwah yang terlebih dahulu dijalankan
kepada kaum penguasa pulau ini. Dalam masa ini, kerajaan-kerajaan Islam
Demak,
Cirebon, dan
Banten membangun kekuasaannya.
Kesultanan Mataram
pada akhir abad ke-16 tumbuh menjadi kekuatan yang dominan dari bagian
tengah dan timur Jawa. Para penguasa Surabaya dan Cirebon berhasil
ditundukkan di bawah kekuasaan Mataram, sehingga hanya Mataram dan
Banten lah yang kemudian tersisa ketika datangnya bangsa Belanda pada
abad ke-17.
Masa kolonial
Hubungan Jawa dengan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa dimulai pada tahun 1522, dengan diadakannya
perjanjian antara
Kerajaan Sunda dan Portugis di
Malaka. Setelah kegagalan perjanjian tersebut,
kehadiran Portugis selanjutnya hanya terbatas di Malaka dan di pulau-pulau sebelah timur nusantara saja. Sebuah ekspedisi di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman yang terdiri dari empat buah kapal pada tahun 1596, menjadi awal dari hubungan antara Belanda dan Indonesia.
Pada akhir abad ke-18, Belanda telah berhasil memperluas pengaruh
mereka terhadap kesultanan-kesultanan di pedalaman pulau Jawa (lihat
Perusahaan Hindia Timur Belanda di Indonesia).
Meskipun orang-orang Jawa adalah pejuang yang pemberani, konflik
internal telah menghalangi mereka membentuk aliansi yang efektif dalam
melawan Belanda. Sisa-sisa Mataram bertahan sebagai
Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta.
Para raja Jawa mengklaim berkuasa atas kehendak Tuhan, dan Belanda
mendukung sisa-sisa aristokrasi Jawa tersebut dengan cara mengukuhkan
kedudukan mereka sebagai penguasa wilayah atau bupati dalam lingkup
administrasi kolonial.
Di awal masa kolonial, Jawa memegang peranan utama sebagai daerah penghasil
beras. Pulau-pulau penghasil rempah-rempah, misalnya
kepulauan Banda, secara teratur mendatangkan beras dari Jawa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Inggris sempat
menaklukkan Jawa pada tahun 1811. Jawa kemudian menjadi bagian dari
Kerajaan Britania Raya, dengan Sir
Stamford Raffles sebagai
Gubernur Jenderalnya. Pada tahun 1814, Inggris mengembalikan Jawa kepada Belanda sebagaimana ketentuan pada
Traktat Paris.
Penduduk pulau Jawa kemungkinan sudah mencapai 5 juta orang pada tahun 1815.
Pada paruh kedua abad ke-18, mulai terjadi lonjakan jumlah penduduk di
kadipaten-kadipaten sepanjang pantai utara Jawa bagian tengah, dan dalam
abad ke-19 seluruh pulau mengalami pertumbuhan populasi yang cepat.
Berbagai faktor penyebab pertumbuhan penduduk yang besar antara lain
termasuk peranan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu dalam menetapkan
berakhirnya perang saudara di Jawa, meningkatkan luas area persawahan,
serta mengenalkan tanaman pangan lainnya seperti
singkong dan
jagung yang dapat mendukung ketahanan pangan bagi populasi yang tidak mampu membeli beras.
Pendapat lainnya menyatakan bahwa meningkatnya beban pajak dan semakin meluasnya perekutan kerja di bawah
Sistem Tanam Paksa
menyebabkan para pasangan berusaha memiliki lebih banyak anak dengan
harapan dapat meningkatkan jumlah anggota keluarga yang dapat menolong
membayar pajak dan mencari nafkah.
[15] Pada tahun 1820, terjadi wabah
kolera di Jawa dengan korban 100.000 jiwa.
Kehadiran truk dan kereta api sebagai sarana transportasi bagi
masyarakat yang sebelumnya hanya menggunakan kereta dan kerbau,
penggunaan sistem telegraf, dan sistem distribusi yang lebih teratur di
bawah pemerintahan kolonial; semuanya turut mendukung terhapusnya
kelaparan di Jawa, yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan
penduduk. Tidak terjadi bencana kelaparan yang berarti di Jawa semenjak
tahun 1840-an hingga
masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-an.
Selain itu, menurunnya usia awal pernikahan selama abad ke-19,
menyebabkan bertambahnya jumlah tahun di mana seorang perempuan dapat
mengurus anak.
Masa kemerdekaan
Nasionalisme Indonesia mulai tumbuh di Jawa pada awal abad ke-20 (lihat
Kebangkitan Nasional Indonesia), dan
perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah Perang Dunia II juga berpusat di Jawa.
Kudeta G 30 S PKI yang gagal dan
kekerasan anti-komunis selanjutnya
pada tahun 1965-66 sebagian besar terjadi di pulau ini. Jawa saat ini
mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia, yang
berpotensi menjadi sumber kecemburuan sosial. Pada tahun 1998 terjadi
kerusuhan besar yang menimpa etnis
Tionghoa-Indonesia,
yang merupakan salah satu dari berbagai kerusuhan berdarah yang terjadi
tidak berapa lama sebelum runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto yang
telah berjalan selama 32 tahun.
Pada tahun 2006,
Gunung Merapi meletus dan diikuti oleh
gempa bumi yang melanda
Yogyakarta. Jawa juga sempat terkena sedikit dampak wabah
flu burung, serta merupakan lokasi bencana
semburan lumpur panas Sidoarjo.
Geografi dan Geologi
Geografi
Jawa bertetangga dengan
Sumatera di sebelah barat,
Bali di timur,
Kalimantan di utara, dan
Pulau Natal di selatan. Pulau Jawa merupakan
pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah
Laut Jawa di utara,
Selat Sunda di barat,
Samudera Hindia di selatan, serta
Selat Bali dan
Selat Madura di timur.
Jawa memiliki luas sekitar 139.000 km
2.
Sungai yang terpanjang ialah
Bengawan Solo, yaitu sepanjang 600 km.
Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi
Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di
Laut Jawa di dekat kota
Surabaya.
Hampir keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas
gunung berapi. Terdapat tiga puluh delapan
gunung
yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang kesemuanya pada
waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi
tertinggi di Jawa adalah
Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah
Gunung Merapi
(2.968 m) serta gunung kelud (1.731 m). Gunung-gunung dan dataran
tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi
menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk
persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia.
Jawa adalah tempat pertama penanaman
kopi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1699. Kini,
kopi arabika banyak ditanam di Dataran Tinggi Ijen baik oleh para petani kecil maupun oleh perkebunan-perkebunan besar.
Suhu rata-rata sepanjang tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C,
dengan kelembaban rata-rata 75%. Daerah pantai utara biasanya lebih
panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di
musim kemarau. Daerah pantai selatan umumnya lebih sejuk daripada pantai utara, dan daerah dataran tinggi di pedalaman lebih sejuk lagi.
Musim hujan
berawal pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan April, di mana hujan
biasanya turun di sore hari, dan pada bulan-bulan selainnya hujan
biasanya hanya turun sebentar-sebentar saja. Curah hujan tertinggi
umumnya terjadi pada bulan-bulan bulan Januari dan Februari.
Jawa Barat bercurah hujan lebih tinggi daripada Jawa Timur, dan
daerah pegunungannya menerima curah hujan lebih tinggi lagi. Curah hujan
di
Dataran Tinggi Parahyangan di Jawa Barat mencapai lebih dari 4.000 mm per tahun, sedangkan di pantai utara Jawa Timur hanya 900 mm per tahun.
Geologi
Pemerian geologi Jawa paling lengkap diungkap dalam van Bemmelen (1949). Sebagai pulau, Jawa secara geologi relatif muda. Pembentukan dimulai dari periode
Tersier. Sebelumnya,
kerak bumi yang membentuk pulau ini berada di bawah permukaan laut. Aktivitas orogenis yang intensif sejak kala
Oligosen dan
Miosen mengangkat dasar laut sehingga pada kala
Pliosen dan
Pleistosen wujud Pulau Jawa sudah mulai terbentuk. Sisa-sisa dasar laut masih tampak, membentuk fitur sebagian besar kawasan
karst di selatan pulau ini.
Van Bemmelen membagi Pulau Jawa dalam tujuh satuan fisiografi sebagai berikut.
- Pegunungan Selatan, merupakan zona gamping bercampur sisa aktivitas vulkanis dari kala Miosen yang mengalami beberapa pengangkatan hingga periode Kuarter.
- Zona vulkanis dari periode Kuarter, dengan gunung-gunung api
tinggi, seringkali dengan puncak di atas 2000 m dari permukaan laut,
membentang dari barat sampai uujung timur.
- Depresi Tengah, membentuk poros cekungan sebagai poros utama pulau, dengan dua depresi besar: depresi Bandung dan depresi Solo
- Zona antiklinal Tengah, terdiri dari endapan-endapan kala Miosen sampai Pleistosen, dimulai dari Gunung Karang terus ke timur melewati Bogor, lembah Serayu, lalu Pegunungan Kendeng, terus sampai ke pantai utara Besuki.
- Depresi Randublatung, merupakan depresi kecil memanjang di utara Pegunungan Kendeng, terbentuk dari endapan laut dan daratan.
- Antiklinorium Rembang-Madura, merupakan formasi perbukitan gamping di pantai utara Jawa Timur dan membentuk hampir semua bagian Pulau Madura
- Dataran aluvial pesisir utara (Jalur Pantura) yang terbentuk dari delta dan endapan lumpur, merupakan daratan paling muda.
Demografi
Pemerintahan
Secara administratif pulau Jawa terdiri atas enam
provinsi:
Penduduk
Dengan populasi hampir 139 juta jiwa,
Jawa adalah pulau yang menjadi tempat tinggal lebih dari 57% populasi Indonesia.
Dengan kepadatan 1.029 jiwa/km²,
pulau ini juga menjadi salah satu pulau di dunia yang paling dipadati
penduduk. Sekitar 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa.
Walaupun demikian sepertiga bagian barat pulau ini (Jawa Barat, Banten,
dan Jakarta) memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1.400 jiwa/km
2.
Sejak tahun 1970-an hingga kejatuhan Suharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan program
transmigrasi
untuk memindahkan sebagian penduduk Jawa ke pulau-pulau lain di
Indonesia yang lebih luas. Program ini terkadang berhasil, namun
terkadang menghasilkan konflik antara transmigran pendatang dari Jawa
dengan populasi penduduk setempat. Di Jawa Timur banyak pula terdapat
penduduk dari etnis Madura dan Bali, karena kedekatan lokasi dan
hubungan bersejarah antara Jawa dan pulau-pulau tersebut. Jakarta dan
wilayah sekelilingnya
sebagai daerah metropolitan yang dominan serta ibukota negara, telah
menjadi tempat berkumpulnya berbagai suku bangsa di Indonesia.
Penduduk Pulau Jawa perlahan-lahan semakin berciri urban, dan
kota-kota besar serta kawasan industri menjadi pusat-pusat kepadatan
tertinggi. Berikut adalah 10 kota besar di Jawa berdasarkan jumlah
populasi tahun 2005.
Etnis dan budaya
Mitos asal usul pulau Jawa serta gunung-gunung berapinya diceritakan dalam sebuah
kakawin, bernama
Tangtu Panggelaran. Komposisi
etnis
di pulau Jawa secara relatif dapat dianggap homogen, meskipun memiliki
populasi yang besar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di
Indonesia. Terdapat dua kelompok etnis utama asli pulau ini, yaitu etnis
Jawa dan etnis
Sunda. Etnis
Madura dapat pula dianggap sebagai kelompok ketiga; mereka berasal dari pulau
Madura yang berada di utara pantai timur Jawa, dan telah bermigrasi secara besar-besaran ke
Jawa Timur sejak abad ke-18.
[26]
Jumlah orang Jawa adalah sekitar dua-pertiga penduduk pulau ini,
sedangkan orang Sunda mencapai 20% dan orang Madura mencapai 10%.
Empat wilayah budaya utama terdapat di pulau ini: sentral budaya
Jawa (
kejawen) di bagian tengah, budaya pesisir Jawa (
pasisiran) di pantai utara, budaya
Sunda (
pasundan) di bagian barat, dan budaya
Osing (
blambangan) di bagian timur. Budaya Madura terkadang dianggap sebagai yang kelima, mengingat hubungan eratnya dengan budaya pesisir Jawa.
Kejawen dianggap sebagai budaya Jawa yang paling dominan. Aristokrasi
Jawa yang tersisa berlokasi di wilayah ini, yang juga merupakan etnis
dengan populasi dominan di Indonesia. Bahasa, seni, dan tata krama yang
berlaku di wilayah ini dianggap yang paling halus dan merupakan panutan
masyarakat Jawa.
Tanah pertanian tersubur dan terpadat penduduknya di Indonesia membentang sejak dari
Banyumas di sebelah barat hingga ke
Blitar di sebelah timur.
Jawa merupakan tempat berdirinya banyak kerajaan yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara,
dan karenanya terdapat berbagai karya sastra dari para pengarang Jawa. Salah satunya ialah kisah
Ken Arok dan Ken Dedes,
yang merupakan kisah anak yatim yang berhasil menjadi raja dan menikahi
ratu dari kerajaan Jawa kuno; dan selain itu juga terdapat berbagai
terjemahan dari
Ramayana dan
Mahabharata.
Pramoedya Ananta Toer
adalah seorang penulis kontemporer ternama Indonesia, yang banyak
menulis berdasarkan pengalaman pribadinya ketika tumbuh dewasa di Jawa,
dan ia banyak mengambil unsur-unsur cerita rakyat dan legenda sejarah
Jawa ke dalam karangannya.
Bahasa
Bahasa-bahasa yang dipertuturkan di Jawa (bahasa Jawa warna putih).
Tiga bahasa utama yang dipertuturkan di Jawa adalah
bahasa Jawa,
bahasa Sunda, dan
bahasa Madura. Bahasa-bahasa lain yang dipertuturkan meliputi
bahasa Betawi (suatu dialek lokal
bahasa Melayu di wilayah Jakarta),
bahasa Osing dan
bahasa Tengger (erat hubungannya dengan bahasa Jawa),
bahasa Baduy (erat hubungannya dengan bahasa Sunda),
bahasa Kangean (erat hubungannya dengan bahasa Madura),
bahasa Bali, dan
bahasa Banyumasan.
[28] Sebagian besar besar penduduk mampu berbicara dalam
bahasa Indonesia, yang umumnya merupakan bahasa kedua mereka.
Agama dan kepercayaan
Jawa adalah kancah pertemuan dari berbagai agama dan budaya. Pengaruh
budaya India adalah yang datang pertama kali dengan agama
Hindu-
Siwa dan
Buddha, yang menembus secara mendalam dan menyatu dengan tradisi adat dan budaya masyarakat Jawa.
[29] Para
brahmana kerajaan dan
pujangga istana mengesahkan kekuasaan raja-raja Jawa, serta mengaitkan
kosmologi Hindu dengan susunan politik mereka.
Meskipun kemudian agama
Islam
menjadi agama mayoritas, kantong-kantong kecil pemeluk Hindu tersebar
di seluruh pulau. Terdapat populasi Hindu yang signifikan di sepanjang
pantai timur dekat pulau
Bali, terutama di sekitar kota
Banyuwangi. Sedangkan komunitas
Buddha umumnya saat ini terdapat di kota-kota besar, terutama dari kalangan
Tionghoa-Indonesia.
Sekumpulan batu nisan Muslim yang berukiran halus dengan tulisan
dalam bahasa Jawa Kuna dan bukan bahasa Arab ditemukan dengan
penanggalan tahun sejak 1369 di Jawa Timur.
Damais menyimpulkan itu adalah makam orang-orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan mungkin para bangsawan.
M.C. Ricklefs
berpendapat bahwa para penyebar agama Islam yang berpaham sufi-mistis,
yang mungkin dianggap berkekuatan gaib, adalah agen-agen yang
menyebabkan perpindahan agama para elit istana Jawa, yang telah lama
akrab dengan aspek mistis agama Hindu dan Buddha.
Sebuah batu nisan seorang Muslim bernama
Maulana Malik Ibrahim yang bertahun 1419 (822 Hijriah) ditemukan di
Gresik,
sebuah pelabuhan di pesisir Jawa Timur. Tradisi Jawa menyebutnya
sebagai orang asing non-Jawa, dan dianggap salah satu dari sembilan
penyebar agama Islam pertama di Jawa (
Walisongo), meskipun tidak ada bukti tertulis yang mendukung tradisi lisan ini.
Masjid di Pati, Jawa Tengah, pada
masa kolonial. Masjid ini menggabungkan gaya tradisional Jawa (atap bertingkat) dengan arsitektur Eropa.
Saat ini lebih dari 90 persen orang Jawa menganut agama Islam, dengan sebaran nuansa keyakinan antara
abangan (lebih sinkretis) dan
santri (lebih ortodoks). Dalam sebuah
pondok pesantren di Jawa, para
kyai
sebagai pemimpin agama melanjutkan peranan para resi di masa Hindu.
Para santri dan masyarakat di sekitar pondok umumnya turut membantu
menyediakan kebutuhan-kebutuhannya.
[29]
Tradisi pra-Islam di Jawa juga telah membuat pemahaman Islam sebagian
orang cenderung ke arah mistis. Terdapat masyarakat Jawa yang
berkelompok dengan tidak terlalu terstruktur di bawah kepemimpinan tokoh
keagamaan, yang menggabungkan pengetahuan dan praktik-praktik pra-Islam
dengan ajaran Islam.
Agama
Katolik Roma tiba di Indonesia pada saat kedatangan Portugis dengan perdagangan rempah-rempah.
[32] Agama Katolik mulai menyebar di Jawa Tengah ketika
Frans van Lith, seorang imam dari Belanda, datang ke
Muntilan, Jawa Tengah pada tahun 1896.
Kristen Protestan tiba di Indonesia saat dimulainya kolonialisasi
Perusahaan Hindia Timur Belanda
(VOC) pada abad ke-16. Kebijakan VOC yang melarang penyebaran agama
Katolik secara signifikan meningkatkan persentase jumlah penganut
Protestan di Indonesia.
Komunitas Kristen terutama terdapat di kota-kota besar, meskipun di
beberapa daerah di Jawa tengah bagian selatan terdapat pedesaan yang
penduduknya memeluk Katolik. Terdapat kasus-kasus intoleransi bernuansa
agama yang menimpa umat Katolik dan kelompok Kristen lainnya.
Tahun 1956, Kantor Departemen Agama di
Yogyakarta melaporkan bahwa terdapat 63 sekte
aliran kepercayaan di Jawa yang tidak termasuk dalam agama-agama resmi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 35 berada di
Jawa Tengah, 22 di
Jawa Barat dan 6 di
Jawa Timur.
[29] Berbagai aliran kepercayaan (juga disebut
kejawen atau
kebatinan) tersebut, di antaranya yang terkenal adalah
Subud,
memiliki jumlah anggota yang sulit diperkirakan karena banyak
pengikutnya mengidentifikasi diri dengan salah satu agama resmi pula.
[35]
Ekonomi
Awalnya, perekonomian Jawa sangat tergantung pada persawahan. Kerajaan-kerajaan kuno di Jawa, seperti
Tarumanagara,
Mataram, dan
Majapahit,
sangat bergantung pada panen padi dan pajaknya. Jawa terkenal sebagai
pengekspor beras sejak zaman dahulu, yang berkontribusi terhadap
pertumbuhan penduduk pulau ini. Perdagangan dengan negara Asia lainnya
seperti India dan Cina sudah terjadi pada awal abad ke-4, terbukti
dengan ditemukannya keramik Cina dari periode tersebut. Jawa juga
terlibat dalam perdagangan
rempah-rempah Maluku semenjak era Majapahit hingga era
Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Perusahaan dagang tersebut mendirikan pusat administrasinya di
Batavia
pada abad ke-17, yang kemudian terus dikembangkan oleh pemerintah
Hindia-Belanda sejak abad ke-18. Selama masa penjajahan, Belanda
memperkenalkan budidaya berbagai tanaman komersial, seperti
tebu,
kopi,
karet,
teh,
kina, dan lain-lain. Kopi Jawa bahkan mendapatkan popularitas global di awal ke-19 dan abad ke-20, sehingga nama
Java telah menjadi sinonim untuk kopi.
Jawa telah menjadi pulau paling berkembang di Indonesia sejak era
Hindia-Belanda hingga saat ini. Jaringan transportasi jalan yang telah
ada sejak zaman kuno dipertautkan dan disempurnakan dengan dibangunnya
Jalan Raya Pos Jawa oleh
Daendels
di awal abad ke-19. Kebutuhan transportasi produk-produk komersial dari
perkebunan di pedalaman menuju pelabuhan di pantai, telah memacu
pembangunan jaringan kereta api di Jawa. Saat ini, industri, bisnis dan
perdagangan, juga jasa berkembang di kota-kota besar di Jawa, seperti
Jakarta,
Surabaya,
Semarang, dan
Bandung, sedangkan kota-kota kesultanan tradisional seperti
Yogyakarta,
Surakarta, dan
Cirebon
menjaga warisan budaya keraton dan menjadi pusat seni, budaya dan
pariwisata. Kawasan industri juga berkembang di kota-kota sepanjang
pantai utara Jawa, terutama di sekitar
Cilegon,
Tangerang,
Bekasi,
Karawang,
Gresik, dan
Sidoarjo.
Jaringan
jalan tol dibangun dan diperluas sejak masa pemerintahan
Soeharto hingga sekarang, yang menghubungkan pusat-pusat kota dengan daerah sekitarnya, di berbagai kota-kota besar seperti
Jakarta,
Bandung,
Cirebon,
Semarang, dan
Surabaya. Selain jalan tol tersebut, di pulau ini juga terdapat 16 jalan raya nasional.
Sumber :
- Wikipedia
[1] Capt R. P. Suyono,
Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007), hal. 5